Jumat, 23 Oktober 2015

SYEKH BURHANUDDIN ULAKAN (1646-1704)
Syekh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan, baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropah lainnya. Salah satu sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823. Buku ini menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan. Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syekh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syekh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syekh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf al Singkli.

Makam Syekh Burhanuddin Ulakan

S
yekh Burhanuddin adalah salah seorang dari murid Syekh Abdur Rauf al Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syekh Kuala. Sekembali dari Aceh, Syekh Burhanuddin membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minang-kabau terus ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya. Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap "syariat”. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab).

Dalam catatan lain terdapat sederetan para ahli dan penulis yang menyelidiki riwayat dan peranan Syekh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan Thomas Diaz tahun 1684 yang diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini telah melibatkan rakyat dalam politik agama yang dikenal dengan nama "perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang kemudian hari melahirkan konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak Penulis bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam (1961), Sidi Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (1962) dan Prof. Muhmud Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969) mengupas peranan ulama Syekh Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam yang berpusat di Ulakan. Semua para penulis tersebut sepakat bahwa Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama dan pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang mengembangkan agama Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya di Ulakan. Syekh Burhanuddin meninggal dunia pada hari Rabu 10 Syafar tahun 1116H atau 1704 M di Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap tahun yang dikenal dengan nama "
basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada hari Rabu, akan diperingati sebagai "basapa gadang”, bersapar besar-besaran.

Menurut perhitungan Prof. Mahmud Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H atau tahun 1641 M di Sintuk, Lubuk Alung, dan memperdalam agama pada Syekh Abdur Rauf selama 10 tahun, dan meninggal pada tahun 1116 H dalam usia 53 tahun. Ilmu pengetahuan agama yang dalam serta pengalaman kenegaraan yang diperdapat bersama gurunya, Syekh Abdur Rauf yang menjadi seorang mufti pada Kerajaan Aceh, menciptakankan sistem pendidikan surau. Murid-murid yang diasuhnya kemudian menyebar di seluruh pelosok Minangkabau yang mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang melahirkan cendekiawan ke pedalaman Minangkabau. Bahkan Syekh Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan Kerajaan Minangkabau yang menyatakan bahwa hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau. Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Peninggalan Syekh Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik, seperti bangunan Surau Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi monumen sejarah dalam membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung monumen itu. Peninggalan sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber penulisan sejarah Syekh Burhanuddin. Peninggalan utama Syekh Burhanuddin yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung Medan dan komplek makam di Ulakan yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya sebagai rasa hormat kepada guru dan pengembang agama Islam di Minangkabau. Dari segi geografis, nagari Ulakan terletak di muara sungai Ulakan di tepi pantai barat Sumatra. Suatu kampung atau nagari yang terletak di tepi pantai paling cepat menerima perkembangan dan pertumbuhan. Di pantai barat Sumatra tumbuh kota-kota perdagangan seperti Meulaboh, Sibolga, Tiku Pariaman, Indrapura. Ulakan, sebagai kota pelabuhan dagang, mengalami kemajuan karena disinggahi oleh para pedagang berbagai daerah dan dari luar negeri seperti saudagar Gujarat, India, Arab dan Cina.Ulakan menjadi suatu pelabuhan penting dan pintu gerbang bagi daerah Minangkabau di masa itu, dan tempat bertemu saudagar-saudagar yang beragama Islam.

Pada batu nisan Syekh Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal 10 Syafar 1116 H bertepatan dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal pada umur yang masih muda, 45 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun 1646. Ketika berangkat ke Aceh ia berumur 15 tahun dan masa belajar di Aceh selama 10 tahun, kegiatan dakwah berlangsung selama 20 tahun. Di kiri kanan makam Syekh Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang disebut khalipah bernama Abdur Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan, Idris Majolelo. Ketiga makam ini terletak di bawah bangunan empat persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh sebuah masjid kecil yang mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada loteng tergantung tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang rombongan baru tirai itupun diganti. Pengganti-pengganti Syekh Burhanuddin adalah Tuanku-tuanku yang menjadi khalipah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin sampai khalipah ke-16, Tuanku Mudo. Di halaman bangunan berkubah terdapat beberapa makam para pengikutnya, khalipah-khalipah atau pewarisnya. Kebanyakan telah rata dengan tanah. Sebagai pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya batu nisan terbuat dari batu alam berbentuk persegi panjang. Di bagian muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm. Lokan-lokan ini dianggap para pengikutnya mempunyai berkah yang dapat menyembuhan berbagai penyakit. Dekat makam terdapat pula sebuah bangunan yang berguna celengan bagi orang yang berwakaf.

Surau Syekh Burhanuddin terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan. Lokasi surau agak masuk ke dalam dari jalan raya melalui jalan tanah yang cukup baik. Surau terletak di atas tanah yang datar dengan halaman yang luas. Tanah lokasi surau Syekh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya semasa Syekh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam. Syekh Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syekh Burhanuddin terdiri dari dua bangunan, yaitu:

1) Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan berfungsi sebagai entrance hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka. Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagai halnya rumah gadang. Bangunan berdenah segi empat bujur sangkar yang terletak di belakang serambi. Pada prinsipnya bangunan ini dengan struktur konstruksi joglo, sebagaimana masjid kuno di Jawa, di antaranya masjid Demak. Namun sesuai dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, bangunan ini dengan struktur berkolong (loteng dan panggung). Dengan struktur bangunan joglo ini, dalam surau terdapat empat tiang utama dikelilingi dua deretan anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan pada deretan kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang (soko guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya, maka struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan melekat pada deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya dihubungkan dengan kayu yang disambung dengan rotan yang disimpai.

2) Atap surau Syekh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau lainnya di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh dan surau Lima Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan arsiterktur konstruksi atap tumpang dengan bentuk berpuncak dengan hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak yang dibangun dalam abad ke-16.

3) Arsitektur surau Syekh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan masjid di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad ke-17. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak. Dengan perbandingan tersebut, arsitektur surau Syekh Burhanuddin pembangunannya dalam abad ke-17. Hal ini diperkuat dengan mihrab tanpa atap tersendiri sebagaimana masjid Demak. Berbeda dengan mihrab masjid lainnya di Minangkabau yang selalu dengan atap tersendiri.

4) Bahan bangunan Syekh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang maupun konstruksi atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang kemudian diganti dengan atap seng pada tahun 1920. Struktur bangunan surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan masa itu. Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja mengambil bentuk segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya diikat dengan rotan tanpa paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan paku kayu.

5) Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang terletak di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada perbaikan yang sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak keasliannya. Bangunan surau Syekh Burhanuddin belum pernah mengalami perubahan, selain penambahan serambi.

Tidak banyak keterangan mengenai masa kecil dan latar belakang kehidupan Syekh Burhanuddin yang berkubur di Ulakan itu. Nama kecilnya adalah Pono. Lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066H (1646 M). Ayahnya bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah, suku Koto. Ibunya bernama Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Kehidupan kedua orang tuanya beternak sapi. Keluarga Pampak Sati gelar Karimun Merah meninggalkan kampung halamannya, Pariangan Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun ke Malalo, terus ke Bukit Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu Tanam. Dengan menghilirkan batang Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk. Jalan ini merupakan jalan dagang yang diawasi oleh Tuan Gadang dari Batipuh. Di tempat inilah keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama dikembangkannya karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur. Pono dengan rajin dan patuh menggembalakan ternak ayahnya sehingga berkembang biak yang membawa keluarga Pampak termasuk keluarga terpandang di daerah baru ini. Pono berjalan menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di nagari Tapakis, bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman baru, seorang pemuda sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo, suku Koto, berasal dari Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti yang halus.

Di nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syekh Abdul Arif yang terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah. Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syekh Abdul Arif bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin dan Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syekh Abdur Rauf al Singkli dan sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Kosasih dan Syekh Abdul Qadir al Jailani di Madinah. Syekh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan. Anak nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama. Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya. Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku Madinah meninggal dunia. Pono sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya Pono karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak mungkin ilmu gurunya itu menjadi gagal. Dengan perasaan hiba dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau menyendiri dari pergaulan ramai, mengingat kemungkaran yang sering dilakukan anak nagari. Untuk mengobati hati yang luluh beliau dengan tekun dan sepenuh hati mengamalkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang diperoleh selama belajar dengan almarhum Tuanku Madinah. Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan teman-teman dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun agama Islam mulai meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk. Dakwah Pono demikian tidak berlangsung lama. Tantangan demi tantangan datang dari anak nagari, terutama para penghulu suku dan pimpinan nagari. Mereka merasa wibawa mereka akan berkurang karenanya. Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya tantangan semakin menjadi. Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan kemudian dengan ancaman pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan musyawarah nagari untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan dakwahnya.

Pono tidak mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk.Pada saat krisis ini menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali segar dalam ingatannya pesan almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar memperdalam ilmu agama kepada seorang ulama besar Abdur Rauf al Singkli. Pesan guru ini disampaikan dengan khidmat kepada kedua orang tuanya dan mereka merestuinya. Secara diam-diam mereka berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usia muda, 15 tahun, malam hari Pono meningalkan negari Sintuk menuju Aceh guna memenuhi pesan gurunaya, Tuanku Madinah. Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas kepergian anak tercinta. Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata terus membasahi pipinya. Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah pertama menuju Aceh kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan Islam di Minangkabau. Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh mata-mata pemimpin nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat serta penyerahan diri kepada Allah.

Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan berguru kepada Syekh Abdur Rauf al Singkli, seorang ulama yang masyhur waktu itu memenuhi amanat almarhum gurunya yang pertama, Tuanku Madinah. Pono sudah berangkat. Nagari Sintuk sudah jauh ditinggalkan. Tanpa kawan ia menyusuri pesisir Samudra Indonesia. Secara kebetulan, dalam perjalanan ia bertemu dengan empat orang pemuda sebaya dengan dia. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata mereka mempunyai niat yang sama, hendak pergi ke Aceh untuk menuntut ilmu agama kepada Syekh Abdur Rauf. Mereka adalah Datuk Maruhum dari Padang Ganting, Tarapang dari Kubuang Tigo Baleh, Muhammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan. Terjadilah persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah didapat kata sepakat, Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang diterimanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan, akhirnya dengan selamat mereka sampai di Singkil langsung menghadap dan memperkenalkan diri kepada Syekh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak dari kampung halaman disampaikan dengan sopan. Dengan segala senang hati Syekh Abdur Rauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya. Setelah menuntut ilmu di Aceh tersebut, Pono kemudian kembali ke Ulakang menyebarkan ajaran Islam.

Alam Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan mengintensifkan ke seluruh pelosok Minangkabau. Cara yang dilakukan ialah, dengan meminta restu kepada Raja Pagaruyung. Apabila Raja telah yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam Minangkabau akan mudah dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya belajar di Aceh, Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting. Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan Sabatang dan Ami Said, cucu Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian berbicara akhirnya Mangkuto Alam ditunjuk menghadap Daulat Raja Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan "Orang Nan Sebelas di Ulakan.” Berangkatlah Syekh Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan Mangkuto Alam dan Orang Nan Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang seperlunya menghadap Daulat Yang DipetuanRaja pagaruyung. Pertama yang ditemui Datuk Bandaharo di Sungai Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan "orang Ulakan” tersebut, minta izin menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau.

Tempat sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama "Bukit Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum dan saling isi mengisi yang akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Inti sari konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan "adat basandi syarak, sebagaimana disinggung oleh Scherieke dalam bukunya "Pergolakan Agama di Sumatra Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam suatu aksi politik agama. Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan yang diterima dengan suara bulat. Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya mengembang agama Islam di seluruh 
Alam Minangkabau.

Dalam pepatah adat disebutkan batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syekh Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung. Bagaimana usaha Syekh Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam waktu yang singkat dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran peranan gurunya di Aceh dengan filsafah "adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja, Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala) teralir dalam pikiran muridnya Syekh Burhanuddin di Ulakan. Daerah pesisir sebagai bagian dari rantau Yang Dipertuan Pagaruyung menentang kehadiran Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662. Sedang di daerah pesisir mulai berkembang surau-surau yang mengadakan perlawanan terhadap monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo. Antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau.

Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam. Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syekh Burhanuddin bersama gurunya, Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau. Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan "adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.

Syariat Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin telah menyinari Alam Minangkabau banyaklah orang yang menuntut ilmu agama. Dari mana-mana orang berdatangan ke Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam sudah masyhur. Surau Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau. Untuk menampung mereka dibangun lagi surau-surau disekeliling surau asal. Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang merupakan satu kampus, permulaan sistem pesantren yang kita kenal sekarang. Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Syekh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum meninggal dunia, Syekh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan dan pendidikan. Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syekh Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin yang akan menggantikan kedudukan, "khalipah” kelak. Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan Abdul Rahman sebagai khalipah I. Idris Majo Lelo, teman akrab Syekh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam. Sebagai kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi Khatib nagari Tanjung Medan dan jabatan itu berlangsung sampai sekarang.

Ajaran yang dikembangkan Syekh Burhanuddin sebagai penganut mazhab Sjafii adalah tharikat Syattariyah, yang dinamakan juga tharikat Ulakan atau "martabat yang tujuh”. Martabat yang tujuh adalah mengenai ketujuh tahap pancaran dari "ada yang mutlak”, bersumber dari ajaran al Halaj, Ibnu Arabi. Menurut ajaran ini semua yang di alam merupakan pancaran dari Allah. Pikiran ini dikembangkan dari ajaran Wihdatul wujud, bersatu dengan Tuhan. Penganjur faham wihdatul wujud di Aceh adalah Syamsuddin Pasai al Sumatrani dan Hamzah Fansuri. Menurut Syamsuddin al Sumatrani, bahwa Allah itu roh, dan wujud kita ini roh dan wujud Tuhan. Sedangkan Hamzah Fansuri mengatakan bahwa asal roh itu qadin, yakni roh Muhammad s.a.w. karena ia dijadikan Allah dari pada nur zatnya yang qadin. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, berarti mengenal Tuhannya), yang oleh Hamzah Fansuri diartikan bahwa manusia bersatu dengan Tuhan, bersatu sifat dengan zat.
Banyak di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan. Setelah Syekh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya masing-masing. Pada pertengahan kedua abad ke-18 terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, politik dan lahirnya cendekiawan sebagai salah satu unsur kepemimpinan tali Tigo Sapilin. Sejalan dengan itu lahir pula pembaharuan pemikiran agama Gerakan "kembali ke syariat” yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Padri (1784 – 1821) untuk mengatasi kemajuan kehidupan masyarakat pada masanya. Semuanya hasil pendidikan surau Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan, Ulakan.

Tk. Sidi Ali Umar


ULAMA SYATTARIYAH

A. Asal-Usul dan Tantangan Ulama Syattariyah
     
 
Terminologi “ulama” berasal dari bahasa Arab, dari akar kata ’alima-ya’lamu -
’ilm yang berarti “mengetahui, ahli, atau mahir” (Yunus, 1990:277). Dari akar kata
 
tersebut lahir kata turunan ’âlim (plural: ’ulamâ’) dalam bentuk ism fâ’il dengan arti
 
“yang berilmu, alim, yang tahu” (Yunus, 1990:278). Dalam Kamus  al-Marbawiy, kata
 
’alima - ya’lamu - ’ilm diterjemahkan sebagai “tahu ia, dapat tahu ia akan itu kerja”. Kata
 
’alîm (dengan madd pada huruf lâm), jama’nya juga ’ulamâ’, diartikan sebagai “yang
 
mengetahui”, dan kata ’âlim (dengan madd pada huruf ’ain dalam bentuk shifah
 
musyabbahah, jama’nya juga ’ulamâ) diterjemahkan sebagai “yang berpelajaran, yang
 
tahu, pandita yang ’alim” (Marbawiy, t.t.:40). Luwîs Ma’lûf al-Yasû’iy menjelaskan arti
 
kata ’âlim dan ’alîm  itu sebagai berikut: "Al-'âlim (Fâ) jim: 'ûllâm wa âlimûn, wa al-'alîm
 
jim 'ulamâ': al-muttashif bi al-'îlm" (Yasû'iy, 1977:527) yang artinya: al-’âlim (dalam
 
bentuk ism fâ’il), jama’nya ’ullâm dan âlimûn, al-’alîm, jama’nya ’ulamâ’ : orang yang
 
bersifat dengan satu ilmu.

 Dalam Alquran [Arab: al-Qur’ân], penggunaan kata ’ulamâ’ tidak hanya untuk
 
orang yang ahli dalam agama Islam, kata itu juga digunakan untuk orang yang ahli
 
agama lain. Pendeta bangsa Israil juga disebut sebagai ’ulamâ’ seperti dalam Alquran
 
Surat  26 (al-Syu’arâ’) ayat 197 yang artinya: Dan apakah tidak cukup menjadi bukti
 
bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? (YPPPA, 1993:588).
 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ulama” diartikan sebagai “orang yang
 
ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam” (Depdikbud, 1990:667).
 
Penggunaan terminologi seperti ini agaknya tidak salah dan telah diterima secara
 
umum oleh masyarakat. Sedangkan untuk orang-orang ahli agama selain Islam
 
digunakan istilah tersendiri, seperti pendeta untuk ulama Kristen Protestan dan pastor
 
untuk ulama Katholik.( Penggunaan kata pendeta ini dulunya juga tidak mutlak
 
untuk ulama Kristen Protestan. Kalangan muslim juga pernah menggunakan
 
kata tersebut untuk gelaran orang alim. Dalam pepatah Minangkabau ada
 
sebutan “urang malin jo pandito, pakiah sarato malano”. “Malin” agaknya
 
berasal dari kata Mu’allim (orang yang mengajar, guru), pandito dalam bahasa
 
Minang sama dengan pandita dalam bahasa Melayu atau pendeta dalam bahasa
 
Indonesia. Al-Marbawi pun menerjemahkan ’ulamâ’  sebagai “pandita yang
 
alim” (Marbawiy, t.t.:40).
     
 
      Dalam realitas kehidupan sehari-hari, ulama juga memiliki pengertian yang
 
bervariasi. Sekalipun istilah ini sudah diterima, namun dalam kenyataannya terdapat
 
pula pengertian yang beragam. Perkembangan ilmu pengetahuan agama Islam
 
sepanjang sejarah telah melahirkan berbagai cabang disiplin ilmu seperti Tafsir, Hadis,
 
Fikih, Tasawuf, dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan tersebut, untuk para
 
ahli dari berbagai disiplin ilmu agama itu juga digunakan terminologi “ulama”, sehingga
 
ada ungkapan ulama tafsir, ulama hadis,  ulama fikih, ulama tasawuf, dan lain-lain.
     
 
      Di samping untuk keahlian tertentu, terminologi ulama juga digunakan untuk
 
orang yang ahli ilmu agama Islam menurut aliran atau madzhab, seperti adanya
 
ungkapan ulama Sunni, ulama Muktazilah, ulama Syi’ah, ulama Syâfi’iyah, dan
 
sebagainya. Ungkapan tersebut menunjukkan penisbatan terminologi ulama kepada
 
aliran teologi atau fikih.
     
 
      Di Sumatra Barat sebutan untuk ulama juga bervariasi. Ada ulama yang
 
dipanggil syekh, seperti Syekh Burhanuddin Ulakan yang menyebarkan agama Islam
 
pada abad ke-17 M. Di akhir abad ke-19 M ada pula seorang ulama Minangkabau yang
 
menjadi mufti di Masjid al-Haram Makkah yang juga dipanggil “syekh”, yaitu Syekh
 
Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Predikat syekh masih digunakan pada awal abad ke-
20 M untuk beberapa ulama seperti Syekh Abdul Karim Amrulllah, Syekh Mohammad
 
Jamil Jaho, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh
 
Sulaiman Arrasuli Candung, dan lain-lain. Di samping panggilan syekh, mereka juga
 
dipanggil “Inyiak” (seperti Inyiak De-er, Inyiak Jambek, Inyiak Jaho, Inyiak Canduang,
 
dan sebagainya). Jika di Minangkabau “darek” ada panggilan inyiak, maka di pesisir
 
Pariaman cukup populer pula panggilan ungku atau tuanku. Predikat tuanku masih
 
bertahan hingga saat ini, setidak-tidaknya di Kabupaten Padang Pariaman dan
 
beberapa daerah lain yang memiliki keterkaitan dengan paham Syattariyah (Amiruddin,
 
23 Maret 2007).
      Dalam tesis ini terminologi ulama dinisbatkan dengan terminologi Syattariyah,
 
dimaksudkan sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam yang mengikuti paham
 
Syattariyah dalam bertashawuf.  Syattariyah adalah suatu aliran tarekat yang didirikan
 
oleh Syekh Abdullah Al-Syattar [Arab: ’Abd al-Lâh al-Syaththâr]. Ia berasal dari Asia
 
Tengah, tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti. Al-Syattar pada mulanya adalah
 
penganut tarekat ’Isyqiyah, suatu aliran tarekat yang dinisbatkan kepada Abu Yazid Al-
’Isyqi [Arab: Abû Yazîd al-’Isyqiy]. Tarekat ini disebut juga Bisthamiyah, dinisbatkan
 
kepada Syekh Abu Yazid Al-Bisthami [Arab: Abû Yazîd al-Bisthâmiy]. Tetapi karena
 
pesatnya pengaruh tarekat Naqsyabandiyah, tarekat ’Isyqiyah mulai pudar (Ensiklopedi
 
Islam V, 2001:1).
     
 
      Selanjutnya Al-Syattar pindah ke India dan mendirikan tarekat Syattariyah
 
sebagai tarekat yang telah berdiri sendiri. Al-Syatttar tetap tinggal di India hingga
 
wafatnya (1485 M). Tarekat ini berkembang pesat atas usaha keras para khalifah
 
Syattariyah setelah Al-Syattar, di antaranya adalah Syekh Muhammad Gawts dari
 
Gwalior (w. 1562 M). Di India tarekat ini sangat inklusif, sehingga banyak penganut
 
agama Hindu yang bergabung menjadi anggotanya. Di bagian barat India, pernah ritual
 
keagamaan Syattariyah dilakukan di kuil Syiwa/Buddha (Ensiklopedi Islam V, 2001:1).
     
 
      Dari India tarekat Syattariyah menyebar pula ke Semenanjung Arabia. Salah
 
satu tokoh Syattariyah di Arabia adalah Shibghat al-Lâh Ibn Rûh al-Lâh (w. 1619 M)
 
dan muridnya yang bernama Syekh Ahmad al-Syinnâwi (w. 1619 M di Madinah).
 
Khalifah berikutnya adalah Syekh Ahmad al-Qusyasyi (1583-1661 M) dan Mullâ
 
Ibrâhîm al-Kurâni (w. 1689 M) (Ensiklopedi Islam V, 2001:1).
     
 
      Tarekat Syattariyah masuk pula ke Aceh, dikembangkan oleh Syekh Abdur
 
Rauf [Arab: ’Abd al-Raûf], asal dari Singkel (1615-1693 M). Ia menunaikan ibadah haji
 
tahun 1643 M dan belajar di Arabia selama 19 tahun. Abdur Rauf belajar Tarekat
 
Syattariyah kepada al-Qusysasyi dan al-Kurâni. Setelah al-Qusyasyi wafat, Abdur Rauf
 
kembali ke Aceh, pada masa pemerintahan Sultanah Syafi’atuddin Tajul ’Alam. Abdur
 
Rauf akhirnya diangkat sebagai mufti di Kerajaan Aceh Darussalam (Ensiklopedi Islam
 
V, 2001:1).
     
 
      Sebelum Abdur Rauf kembali ke Aceh, konflik dalam kehidupan beragama
 
sedang berkecamuk. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam,
 
paham keagamaan yang dijadikan acuan adalah ajaran Syekh Hamzah Fanshuri dan
 
Syekh Syamsuddin Sumatrani. Setelah Iskandar Muda wafat dan digantikan oleh
 
Iskandar Tsani, Syekh Nuruddin Ar-Raniri diangkat menjadi mufti. Ar-Raniri
 
mengeluarkan fatwa sesat terhadap paham keagamaan Hamzah Fanshuri dan
 
Syamsuddin Sumatrani (Samad, 2000:48). Pengikut kedua ulama itu dikejar-kejar,
 
pahamnya diharamkan, dan buku-bukunya dibakar (Djoened, 1993:205-206).
     
 
      Sulltan Iskandar Tsani wafat dan digantikan oleh jandanya yang bernama
 
Syafi’atuddin, putri mendiang Iskandar Muda. Sultanah Syafi’atuddin lebih toleran
 
dalam pemahaman keagamaan. Sultanah mengangkat Syekh Abdur Rauf menjadi
 
mufti kerajaan menggantikan posisi Ar-Raniri pada tahun 1642 (Samad, 2000:49).
 
Syekh Abdur Rauf menolak cap kafir yang sebelumnya difatwakan al-Raniri terhadap
 
pengikut-pengikut Fanshuri dan Sumatrani. Nampaknya pemahaman keagamaan
 
Syekh Abdur Rauf lebih akomodatif dan bersifat rekonsiliasi antara pengikut Hamzah
 
Fanshuri dan Ar-Raniri (Samad, 2000:43).
      Syekh Abdur Rauf menetap di muara (kuala) Sungai Aceh dan memiliki
 
pondok pesantren di Kuala,  sehingga ia dikenal dengan sebutan “Syiah Kuala” (Syiah
 
Kuala maksudnya Syekh yang tinggal di Kuala (muara) Sungai Aceh. Nama ini
 
kemudian diabadikan menjadi nama sebuah universitas negeri di Banda Aceh, yakni
 
Universitas Syiah Kuala. (Djoened, 1993:207]. Sebutan "Syiah Kuala" juga digunakan
 
oleh Alyasa’ Abu Bakar dalam:  “Abd al-Rauf Syiah Kuala: Riwayat Hidup dan Warisan
 
Ilmiyah”, dalam jurnal Kajian Islam,  Nomor 1 Tahun 1991). Dari pesantren ini kelak
 
muncul ulama Syattariyah, termasuk Syekh Burhanuddin Ulakan. Syekh Burhanuddin,
 
nama kecilnya adalah Kanun. Ayahnya bernama Pampak dan ibunya bernama Nilai,
 
suku Guci, yang berasal dari Batipuh, Pariangan Padang Panjang. Keluarga kecil turun
 
dari Batipuh menuju rantau Pariaman dan memilih untuk menetap di Sintuk. Pada
 
waktu itu masyarakat Sintuk masih menganut agama Jahiliyah. Kanun senang
 
menyendiri dari teman-teman seusianya. Untuk mengisi kegiatan keseharian, Kanun
 
mengembalakan ternak milik orang tuanya (Maulana. 1993:10-12).
     
 
      Pada suatu ketika, ia mengembalakan ternaknya sampai ke dekat pantai
 
Tapakis (kurang lebih 10 km sebelah barat Sintuk). Di sana ia bertemu dengan
 
seorang remaja yang bernama Idris, asal Tanjung Medan, Ulakan. Melalui Idris, Kanun
 
mendapat informasi bahwa ada seorang guru yang membawa agama baru, mengajar
 
di Air Sirah, Tapakis. Guru itu bernama Syekh Abdullah Arif, yang baru datang dari
 
Arabia. Kanun kembali ke kampungnya dengan segera untuk mengemukakan
 
keinginannya mempelajari agama baru tersebut kepada kedua orang tuanya. Orang
 
tuanya mengizinkan, Kanun berangkat menuju Tapakis. Setelah beberapa lama
 
belajar dengan Syekh Abdullah Arif, Kanun diberi gelar Pakih Pono. Masa belajarnya
 
di Tapakis sangat singkat, karena Syekh Abdullah Arif meninggal dunia. Sebelum
 
meninggal dunia, syekh ini menyarankan kepada Pakih Pono agar melanjutkan
 
pelajarannya ke Singkel, Aceh Selatan. Di sana ada guru agama yang baru pulang
 
dari Arabia, namanya Syekh Abdur Rauf (Maulana, 1993:12-16).
     
 
      Pakih Pono berangkat menuju Singkel. Di tengah jalan, ia bertemu dengan
 
empat orang yang juga mempunyai maksud yang sama. Akhirnya mereka berlima
 
berangkat menuju Singkel, tempat Syekh Abdur Rauf mengajar. Tetapi setelah
 
mereka sampai di Singkel, diperoleh informasi bahwa Syekh Abdur Rauf telah pindah
 
ke ibukota Kerajaan Aceh Darussalam, karena beliau diangkat sebagai mufti oleh
 
Sulthanah Syafi’atuddin Tajul ’Alam. Dengan susah payah, lima orang pemuda dari
 
Minangkabau ini sampai juga di Kuala, tempat tinggal dan tempat mengajar Syekh
 
Abdur Rauf yang baru (Maulana, 1993:16-20).
     
 
      Setelah genap 30 tahun belajar dengan Syekh Abdur Rauf di Aceh, Pakih
 
Pono diangkat oleh Syekh Abdur Rauf  menjadi khalifah untuk wilayah Minangkabau.
 
Pakih Pono diberi gelar Syekh Burhanuddin. Konon gelar ini berasal dari wasiat Syekh
 
Ahmad al-Qusyasyi kepada Syekh Abdur Rauf sewaktu masih di Madinah. Al-
Qusyasyi telah memprediksi bahwa kelak setelah Syekh Abdur Rauf mengajar di
 
Aceh, akan datang seorang murid yang kakinya pincang. Murid itu hendaklah diberi
 
gelar Burhân al-Dîn (Maulana, 1983:69; Enslopedi Islam I, 2001: 261).
 
     
 
      Sesuai dengan amanah Syekh Abdur Rauf, Syekh Burhanuddin berangkat
 
menuju pantai Pariaman ditemani oleh puluhan hulubalang di bawah pimpinan Katik
 
Sangko (suku Guci, berasal dari Tandikat VII Koto). Pendaratan di Pariaman
 
mendapat tantangan dari pemuka masyarakat. Akhirnya Syekh Burhanuddin
 
memutuskan untuk menetap sementara di Pulau Angso. Sedangkan Katik Sangko
 
tetap bersikeras untuk mendarat dengan paksa di pantai Pariaman. Tantangan datang
 
dari Basa Nan Balimo di VII Koto, akibatnya perang tak terelakkan lagi. Perang
 
berakhir dengan kemenangan di pihak Katik Sangko. Ia dapat mengalahkan Kalik-
Kalik Jantan, panglima pasukan Basa Nan Balimo dari VII Koto. Katik Sangko
 
menetap di kampung halamannya di Tandikek sambil menyebarkan agama Islam di
 
sanam (Maulana, 1993:36-43).
     
 
      Syekh Burhanuddin yang menetap sementara di Pulau Angso, berhasil
 
mengirim pesan melalui para nelayan kepada Idris, teman belajarnya di Tapakis dulu.
 
Idris menetap di Tanjung Medan, Ulakan. Setelah menerima pesan tersebut, Idris
 
berusaha mengumpulkan masyarakat Tanjung Medan untuk menjemput Syekh
 
Burhanuddin. Setelah dicapai kesepakatan, maka Idris dan rombongannya berlayar
 
menuju Pulau Angso. Setelah sampai di Pulau Angso dan berbicara panjang lebar,
 
Syekh Burhanuddin dipersilahkan menikmati jamuan yang dibawa oleh rombongan
 
masyarakat Tanjung Medan. Setelah jamuan makan selesai, Idris mengemukakan
 
maksudnya kepada Syekh Burhanuddin agar bersedia menetap di Tanjung Medan.
 
Syekh Burhanuddin menyetujui ajakan tersebut. Maka pulanglah Idris dan
 
rombongannya bersama-sama dengan Syekh Burhanuddin menuju Tanjung Medan.
 
Masyarakat Tanjung Medan mendirikan surau sebagai tempat tinggal dan tempat
 
mengajar untuk Syekh Burhanuddin (Maulana, 1993:43-45).
 
     
 
      Tidak berapa lama beliau mengajar di Tanjung Medan, datang pulalah teman-
temannya yang empat orang yang dulunya sama-sama belajar di Aceh. Syekh
 
Burhanuddin juga meminta masyarakat Tanjung Medan dan Ulakan medirikan empat
 
buah surau di Padang Silagundi untuk teman-temannya yang empat orang itu
 
(Maulana, 1993:54-55).
 
      Di samping mengajar di Surau Tanjung Medan, Syekh Burhanuddin juga tidak
 
lupa berdakwah, terutama ke Sintuk dan ke Tanah Datar. Setelah  mengembangkan
 
agama Islam selama 30 tahun, Syekh Burhanuddin berpulang ke rahmatullah. Pada
 
hari Rabu 10 Shafar 1111 H, Syekh Burhanuddin wafat (Maulana, 1993:100-101).
 
Sampai sekarang hari wafatnya diperingati setiap tahun oleh umat Islam di Sumatra
 
Barat, dengan upacara ritual Basafa (Gazalba, 1994:21).
 
     
 
      Selanjutnya penyebaran agama Islam dilaksanakan oleh para khalifah Syekh
 
Burhanuddin. Menurut catatan Imam Maulana, secara berturut-turut para khalifah
 
Syekh Burhanuddin adalah (1) Syekh Abdur Rahman (2) Syekh Idris, (3) Syekh Abdul
 
Muhsin, (4) Syekh Habibullah, (5) Syekh Abdul Mujib di Tibarau, (6) Syekh Abdul Habil
 
(Maulana, 1993:95-97).
     
 
      Tugas pengembangan agama Islam juga dilaksanakan oleh murid-murid
 
Syekh Burhanuddin yang lain, di antaranya Syekh Jalaluddin Kapiah-Kapiah
 
Paninjauan Koto Tuo, Agam. Dari murid-murid generasi selanjutnya yang aktif
 
melakukan dakwah, terdapat pula nama Syekh Supayang Solok. Syekh Supayang
 
adalah murid dari Syekh Abdul Wahab Calau, Syekh Abdul Wahab Calau murid dari
 
Syekh Tibarau, Syekh Tibarau murid dari Syekh Abdurrahman, Syekh Abdurrahman
 
murid dari Syekh Burhanuddin (Maulana, 1993:97).
     
 
      Menurut ajaran Syattariyah, seseorang yang ingin mempelajari paham tersebut
 
harus melewati bai’at terlebih dahulu. Bai’at merupakan tali pengikat antara guru dan
 
murid, di samping sebagai pertanda bahwa seseorang telah diakui sebagai pengikut
 
paham Syattariyah. Bai’at itu dilakukan kepada guru yang mempunyai silsilah sampai
 
kepada Syekh Burhanuddin, Syekh Abdur Rauf, dan syekh-syekh di atasnya dan
 
sambung-bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Bai’at [Arab: bay’ah]
 
secara harfiah berarti janji. Dalam Tarekat Syattariyah, seseorang yang ingin
 
mempelajari tarekat ini harus berbai’at. Mula-mula guru yang akan mengajar tarekat itu
 
menyuruh calon murid untuk: (1) berwudhu’, (2) bertaubat, (3) berjabat tangan dengan
 
guru dan semua hadirin, (4) menghantarkan tangan kanan ke bumi, guru meletakkan
 
tangan kanannya di atas tangan kanan murid, (5) Mengikuti lafaz bai’at yang diucapkan
 
guru berupa ta’awudz, basmalah, Surat Al-Fath ayat 10, Radhitu billahi rabba ... dan
 
seterusnya, istighfar tiga kali,  tahlil tiga kali, kemudian zikir la ilaha illallah 100 kali,
 
kemudian berdoa Allahumma khudz minhu wa taqabbal minhu waftah ’alaihi bâba kulli
 
khairin kamâ fatahtahû ’alâ anbiyâika wa auliyâika wa ’ibâdikash shalihin tiga kali
 
(Maulana, 1993:128-129]
     
 
      Silsilah itu dapat dibagi kepada dua: (1) dari Nabi SAW sampai kepada Syekh
 
Burhanuddin, dan (2) dari Syekh Burhanuddin sampai sekarang. Dalam silsilah
 
pertama (dari Nabi SAW hingga Syekh Burhanuddin) terdapat 25 nama guru-guru
 
Syattariyah. Rantai sislilah tersebut adalah sebagai berikut:
 
1.    Nabi Muhammad SAW
2.    ’Aliy al-Murtadhâ
3.    Husayn al-Syahîd
4.    ’Aliy Zayn al-’?bidîn
5.    Muhammad al-Bâqir
6.    Ja’far al-Shâdiq
7.    Abû Yazîd al-Bisthâmiy
8.    Muhammad al-Maghribiy
9.    Abû Yazîd al-’Isyqiy
10.    Abul Muzhaffar al-Thûsiy
11.    Abu al-Hasan al-Khirqâniy
12.    Al-Khudâqûliy
13.    Muhammad ’?syiq
14.    Muhammad ?rif
15.    ’Abd al-Lâh Al-Syaththâr
16.    Qâdhi Syaththâri
17.    Hidâyat al-Lâh Sarmast
18.    Hâji Hudhûri
19.    Muhammad Ghawts
20.    Wajîh al-Dîn
21.    Shibghat al-Lâh Ahmad al-Al-Syinnâwiy
22.    Ahmad al-Qusyasyiy
23.    ’Abd al-Raûf Singkel
24.    Burhân al-Dîn Ulakan (Zubir Zubir, tt.:86)
     
 
      Urutan silsilah di atas sesuai dengan catatan Syekh Abdur Rauf Singkel
 
dalam bagian penutup bukunya yang berjudul Tanbîh al-Mâsyî (Fathurrahman,
 
1999:158-161). Rantai silsilah yang sama dapat pula dilihat pada selebaran yang
 
dikeluarkan Tuanku Syekh Sidi Jalalen dari Pondok Pesantren Madinatul ’Ilmi Buluah
 
Kasok Sungai Sariak, VII Koto. Dalam silsilah Tuanku Syekh Sidi Jalalen terdapat 38
 
nama, dengan rincian 27 nama hingga Syekh Burhanuddin dan 11 nama sesudah
 
Syekh Burhanuddin hingga Syekh Sidi Jalalen. Silsilah ini berbeda sedikit dengan
 
yang ditulis oleh Tuanku Kuniang Zubir karena Syekh Sidi Jalalen memulai silsilahnya
 
dari Allah ’Azza wa Jalla, Jibril, dan kemudian dilanjutkan ke Rasulullah SAW.
      Adapun silsilah sesudah Syekh Burhanuddin, ada beberapa versi sesuai
 
dengan banyaknya murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan paham
 
tarekatnya. Menurut Tuanku Kuniang Zubir, ada enam orang murid Syekh
 
Burhanuddin yang mengajarkan tarekat selanjutnya, yaitu: (1) Syekh Abdurrahman
 
Ulakan, (2) Syekh Janggut Hitam Lubuak Ipuah, (3) Syekh Jalaluddin Kapiah-Kapiah,
 
(4)  Syekh Basingka Lubuk Minturun, (5) Syekh Mulla Ibrahim Lunang, (6) Qadhi
 
Padang Gantiang, dan (7) Syekh Idris Ulakan (Zubir,tt:89).
     
 
      Syekh Janggut Hitam Lubuak Ipuah menurunkan silsilah kepada Syekh
 
Abdurrahman Lubuak Ipuah, dari Syekh Abdurrahman kepada Syekh Malalo Limo
 
Puluah, Syekh Malalo Limo Puluah menurunkan silsilah kepada Syekh Aluma Koto
 
Tuo, dari Syekh Aluma kepada Syekh Kiambang, dan dari Syekh Kiambang kepada
 
Syekh Mato Aie (Zubir,tt:87).
     
 
      Syekh Abdurrahman menurunkan tarekat kepada: (1) Syekh Abdul Muhsin,
 
(2) Syekh Jalaluddin, (3) Syekh Tabbat Yada, (4) Syekh Sulthan al-Kusai atau Syekh
 
Tibarau (Zubir,tt:89). Sedangkan Syekh Abdurrahman Lubuak Ipuah menurunkan
 
tarekat kepada murid-muridnya, yaitu: (1) Syekh Malalo Limo Puluah, (2) Syekh Cupak
 
Solok, (3) Syekh Mato Aie Nan Tuo, (4) Syekh Aluma Koto Tuo, (5) Syekh Cubadak
 
Aie Pariaman, dan (6) Syekh Galagah Padang Magek (Zubir,tt:90).
     
 
      Di samping itu ada pula silsilah yang tidak melalui Syekh Burhanuddin, tetapi
 
melalui Syekh Muhammad Saman, Syekh Haji Hatari, Syekh Lunto, Syekh Kolok,
 
Syekh Alim Kana, Syekh Aminullah, Syekh Aluma Koto Tuo, Syekh Kiambang, dan
 
berakhir pada Syekh Mato Aie (Zubir,tt:88).
     
 
      Syekh Aluma Koto Tuo menurunkan tarekat kepada: (1) Syekh Kiambang, (2)
 
Syekh Tuanku Panjang Sungai Sariak, (3) Syekh Abuya Kabun Tapakis, (4) Tuanku
 
Mansur, (5) Ungku Muhammad, dan (6) Ungku Haji Ismail. Syekh Tibarau
 
menurunkan silsilah kepada: (1) Kadhi VII Koto Nan Tuo, (2) Syekh Malalo Limo
 
Puluah, (3) Syekh Ahmad al-Kusai, (4) Syekh Balinduang Pilubang, (5) Syekh Jurak
 
Limau Puruik, (6) Syekh Surau Gadang Koto Marapak, (7) Syekh Abul Abbas Parit
 
Malintang, (8) Syekh Surau Panjang Gasan, (9) Syekh Abdul Wahab Calau, dan (10)
 
Syekh Talawi Padang Gantiang(Zubir,tt:191).
     
 
      Syekh Ahmad Al-Kusai menurunkan silsilah kepada: (1) Syekh Bintungan
 
Tinggi, (2) Syekh Kapalo Koto, (3) Syekh Pondok Gadang, (4)xSyekh Haji Harun
 
Lubuak Aluang, (5) Syekh Angku Tuo Surau Gadang. Syekh Talawi menurunkan
 
silsilah kepada: (1) Syekh Muhammad Yasin Tanjuang Ampalu, (2) Syekh Muhammad
 
Yatim Ampalu Tinggi, (3) Syekh Ungku Kaciak Duku Banyak, dan (4) Ungku Tampuah
 
Kalawi (Zubir,tt:191).
     
 
      Syekh Balinduang menurunkan silsilah kepada: (1) Syekh Talang Koto
 
Bangko, (2) Syekh Sungai Rantai Kubuang, (3) Syekh Angku Kuniang Kubu. Syekh
 
Calau menurunkan silsilah kepada Syekh Supayang Solok. Syekh Mato Aie Nan Tuo
 
menurunkan silsilah kepada Syekh Bayang Salido dan Syekh Kamumuan. Syekh
 
Kamumuan menurunkan silsilah kepada Abuya Ungku Andah Pakandangan. Syekh
 
Muhammad Yasin menurunkan silsilah kepada Syekh Angku Lubuak Pua (Zubir,tt:92-
93).
     
 
      Syekh Muhammad Yatim Ampalu Tinggi menurunkan silsilah kepada:
 
(1)xSyekh Suruaso Batusangkar, (2) Syekh Muhammad Yunus Sasak, (3)xSyekh
 
Ungku Sidi Talur, (4) Syekh Malin Bayang Sijunjung, (5) Syekh Ungku Saliah Kiramat,
 
(6) Syekh Ungku Kalumbuak, (7) Syekh Haji Ibrahim, (8) Syekh Ungku Nurbai, (9)
 
Syekh Ungku Inuah Guguak Ampalu, dan (10)xSyekh Haji Yahya Angku Piliah
 
(Zubir,tt:92-93).
     
 
      Sedangkan nama guru-guru antara Syekh Burhanuddin dan Syekh Sidi
 
Jalalen adalah: (1)xSyekh Ibrahim Padang Gantiang, (2) Syekh Angku Kandang Biju
 
Talang, (3) Syekh Sawah Liek Kinaro Solok, (4) Syekh Khili Salayo, (5) Syekh Khasik
 
Sumani, (6) Syekh Sumani, (7) Syekh Cupak, (8)xSyekh Talawi, (9) Syekh
 
Muhammad Yatim Mudiak Padang, (10) Syekh Sidi Thawaf Sungai Sariak, dan (11)
 
Syekh Sidi Jalalen Sungai Sariak.
     
 
      Dengan demikian, terminologi ulama Syattariyah berarti ulama yang mengikuti
 
paham Syattariyah dalam tasawuf. Sekalipun ungkapan kurang dikenal di lingkungan
 
ulama Syattariyah, namun perlu digunakan sebagai sebuah terminologi untuk
 
mengidentifikasi kelompok tersebut dalam penelitian ini.
     
 
      Dalam perjalanan sejarahnya, ulama Syattariyah telah melakukan islamisasi
 
masyarakat Minangkabau selama satu setengah abad. Selama itu pula paham
 
Syattariyah memegang hegemoni keagamaan di tengah masyarakat. Hegemoni
 
paham Syattariyah dapat bertahan hingga pertengahan abad ke-19 M. Pada
 
permulaan tahun 1850-an masuk pula paham Naqsyabandiyah, yang dibawa oleh
 
Syekh Ismail al-Khalidi dari Makkah (Bruinessen, 1992:98).
     
 
      Masuknya paham Naqsyabandiyah membawa berbagai perubahan dalam
 
pemahaman dan amaliyah keagamaan masyarakat Minangkabau. Ulama yang
 
mengikuti paham Naqsyabandiyah mengkritik sistem keagamaan ulama Syattariyah.
 
Ada tiga masalah yang dijadikan sasaran kritik ulama Naqsyabandiyah, yaitu: (1)
 
Masalah kiblat masjid ulama Syattariyah yang tidak tepat, (2) Bacaan lafazh Arab
 
bacaan shalat ulama Syattariyah yang kurang sesuai dengan makhraj-nya yang benar,
 
dan (3) Keterlambatan ulama Syattariyah dalam memulai dan mengakhiri puasa
 
Ramadhan (Latif, 2001:49; Damami, 2000:126). Tiga masalah ini menyebabkan
 
terpecahnya masyarakat menjadi dua kelompok, pengikut paham Syattariyah dan
 
pengikut paham Naqsyabandiyah. Perpecahan ini mendorong munculnya masjid yang
 
baru dalam beberapa kampung, terpisah dari masjid yang lama. Paham
 
Naqsyabandiyah cukup mendapat sambutan di Minangkabau darat, yang
 
mengakibatkan terdesaknya paham Syattariyah yang berpusat di Ulakan (Bruinessen,
 
1992:101).
     
 
      Perbedaan ajaran antara paham Syattariyah dan paham Naqsyabandiyah itu
 
membawa momentum baru.  Martin van Bruinessen menyebut Ulakan sebagai pusat
 
agama konservatif yang menganut paham Syattariyah, sedangkan Cangking lebih
 
cenderung memurnikan agama yang kemudian menjadi pusat paham
 
Naqsyabandiyah. Pengikut Naqsyabandiyah menamakan dirinya kaum muda,
 
sedangkan ulama Syattariyah disebut sebagai ulama adat (Schrieke, 1973:27).
     
 
      Di wilayah pesisir Pariaman juga muncul paham Naqsyabandiyah, diajarkan
 
oleh Syekh Daud yang berasal dari Sunur. Syekh Daud mengkritik paham Wahdatul
 
Wujud [Arab: Wahdat al-Wujûd] yang dikembangkan oleh Tuanku Lubuk Ipuah,
 
pendukung paham Syattariyah Ulakan. Syekh Daud melancarkan kritiknya dalam
 
bentuk syair. Dalam karyanya yang berjudul “Syair Makkah dan Madinah”, ditemukan
 
bait-bait sebagai berikut.
 

Sungguhpun satu baginya firak
Bukan ittihad pada segenap pihak
 
Wahid-Nya dan kaim Jumat tidak
Mustahil-lah pula dalam khalayak
 

Martabat tujuh masa sekarang
Di negeri Makkah sudah dilarang
Berapa kitab sudah dibuang
Ahlinya tidak muftinya jarang

Mufakat Ulama Makkah-Madinah
Demikian lagi Masir dan Kufah
 
Martabat tujuh sekarang tertegah
Menuntut dia akhirnya salah (Suryadi, 2001:83-84).
 
      
 
      Dalam syair di atas, Syekh Daud mengkritik paham Wahdatul Wujud  yang
 
dianut oleh Syekh Lubuak Ipuah. Syekh Daud menyebut ulama Syattariyah sebagai
 
penganut paham ittihad yang beranggapan bahwa berbagai firak [keragaman]
 
merupakan satu kesatuan dengan Pencipta. Pengikut paham ini tidak melaksanakan
 
shalat Jumat, dan ajarannya yang disebut “Martabat Tujuh” yang telah dilarang di
 
Timur Tengah. Pertarungan antara dua orang ulama ini akhirnya dimenangkan oleh
 
Tuanku Lubuak Ipuah. Ketika Syekh Daud pergi ke Makkah, Tuanku Syekh Lubuak
 
Ipuah dengan bantuan ninik mamak Nagari Sunur, berhasil mempersunting putri
 
Tuanku Syekh Daud yang bernama Umi Salamah menjadi istrinya (Suryadi, 2001:85).
     
 
      Di samping paham Naqsyabandiyah, paham Wahabi pun masuk pula ke
 
Minangkabau pada abad ke-19 M. Paham ini dibawa dan dikembangkan di
 
Minangkabau oleh tiga orang haji yang kembali dari Makkah, yaitu Haji Miskin, Haji
 
Sumanik, dan Haji Piobang. Paham ini mendapat sambutan dari delapan ulama
 
Minangkabau yang kelak menjadi tokoh dalam Perang Paderi dan terkenal dengan
 
sebutan Harimau Nan Salapan. Ada di antara murid Tuanku Mansiangan Nan Tuo
 
yang sangat radikal dalam memberantas bid’ah dalam sistem keagamaan lama, yakni
 
Tuanku nan Renceh. Ide Tuanku Nan Renceh mendapat sambutan dari delapan orang
 
ulama dari Agam, yaitu (1) Tuanku Nan Renceh dari Bancah Kamang, (2) Tuanku
 
Lubuak Aue dari Candung, (3) Tuanku Barapi dari Bukit Candung, (4) Tuanku Padang
 
Laweh dari Banuhampu, (5) Tuanku Padang Lua, (6) Tuanku Galuang dari Sungai
 
Pua, (7) Tuanku Biaro, dan (8) Tuanku Kapau. Karena jumlahnya delapan maka
 
terkenallah sebutan Harimau Nan Salapan [Adrianus Chatib, 2003: 190].
      Gerakan Harimau Nan Salapan berkembang menjadi kekuatan radikal yang
 
sangat keras menentang praktek adat Jahiliyah yang tidak sesuai dengan agama,
 
seperti main judi, menyabung ayam, minum tuak, dan lain-lain. Akibatnya, konfrontasi
 
dengan kaum adat tak terelakkan, meletuslah Perang Paderi. Perang ini berakhir
 
dengan kemenangan kaum adat yang dibantu oleh Kompeni Belanda. Dalam
 
menghadapi Kaum Paderi, ulama Syattariyah mengambil sikap yang berseberangan
 
dengan gerakan tersebut. Haji Miskin dimusuhi oleh pemuka-pemuka
 
Syattariyah di kampung halamannya maupun di Koto Laweh, tempat
 
kediaman Syekh Jalaluddin murid Syekh Burhanuddin yang bersimpati pada
 
Gerakan Paderi. Syekh Jalaluddin yang dikenal sebagai Tuanku Mansiangan
 
Nan Tuo meninggalkan paham Syattariyah dan berpindah ke paham
 
Naqsyabandiyah [Adrianus Chatib, 2003: 190].
      Tantangan terhadap paham Syattariyah juga muncul pada awal abad ke-19
 
M. Seorang pemuda Minangkabau yang bernama Ahmad Khatib berangkat ke Makkah
 
untuk mendalami ilmu agama. Ia berhasil menjadi imam di Masjidil Haram, yang
 
dikenal sebagai Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Syekh Ahmad Khatib secara
 
terang-terangan menentang pembagian pusaka secara matrilinial menurut adat
 
Minangkabau. Di samping itu, ia juga menganggap bid’ah beberapa praktek tarekat
 
Naqsyabandiyah dan Syattariyah yang ada pada waktu itu. Di Makkah, banyak
 
pelajar-pelajar dari Indonesia yang menuntut ilmu kepada ulama ini.
 
      Tantangan itu kian terasa setelah murid-murid Syekh Ahmad Khatib kembali
 
ke Minangkabau dan aktif di tengah masyarakat. Di antara murid-murid Syekh Ahmad
 
Khatib yang terkenal ialah Syekh Sulaiman Arrasuli Candung, Syekh Muhammad
 
Khatib Ali Padang, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Muhammad Jamil Jambek,
 
Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Abdul Karim Amrullah, dan Syekh Abdullah
 
Ahmad (Ensiklopedi Islam III, 1999:235).
      Dari murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tersebut  terdapat
 
pula perbedaan dalam menyikapi tarekat. Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Muhammad
 
Jamil Jambek, dan Syekh Muhammad Khatib Ali adalah pemuka Tarekat
 
Naqsyabandiyah. Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan Syekh Ibrahim Musa Parabek
 
bersikap netral terhadap tarekat, sedangkan Syekh Abdul Karim Amrullah sangat
 
keras menentang paham Wahdatul Wujud. Tantangan Syekh Abdul Karim Amrullah itu
 
jelas mengarah kepada paham Syattariyah di Ulakan. Jika dirunut ke belakang, 
 
tantangan ini juga memiliki benang merah dengan pertentangan lama antara Surau
 
Cangking dan Surau Ulakan (antara Naqsyabandiyah dan Syattariyah). Orang tua
 
Syekh Abdul Karim Amrullah adalah Syekh Tuanku Kisai, yang juga termasuk tokoh
 
Naqsyabandiyah (Damami, 2000:120.
      Masing-masing murid Syekh Ahmad Khatib yang disebutkan di atas
 
mendirikan lembaga pendidikan berbentuk surau. Surau Candung, Surai Lampasi, dan
 
Surau Jaho menjelma menjadi Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Surau Jembatan Besi
 
dan Surau Parabek berubah menjadi Sumatra Thawalib. Pada awal tahun 1920-an,
 
polarisasi Tarbiyah Islamiyah dan Sumatra Thawalib menjelma menjadi dua kelompok,
 
tradisionalis dan modernis. Dalam pertentangan paham antara kaum tradisionalis dan
 
kaum modernis, ulama Syattariyah tidak melibatkan diri. Walaupun antara ulama
 
Syattariyah dan ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah sama-sama mengikuti paham
 
Ahlussunnah Waljamaah dan mazhab Syafi’i, namun ada pula beberapa amaliyah
 
ulama Syattariyah yang tidak disetujui oleh kalangan Tarbiyah Islamiyah (Dhofier:
 
384).
      Ketika Persatuan Tarbiyah Islamiyah melepaskan diri dari Partai Islam
 
MASYUMI sebelum mengikuti Pemilihan Umum Tahun 1955 dan berdiri sebagai partai
 
politik tersendiri, ulama Syattariyah mendirikan pula sebuah partai lokal yang diberi
 
nama PEMSYI (Persatuan Muslimin Syattariyah Indonesia) yang juga merupakan
 
partai politik lokal yang berdiri sendiri di Sumatra Tengah (Ahmad Hussein, 1978:
 
207). Tetapi karena gagal dalam Pemilihan Umum 1955, PEMSYI akhirnya hilang dari
 
peredaran.
      Selanjutnya pada awal abad ke-20 M masuk pula paham Naqsyabandiyah di
 
Pariaman. Kegiatan jamaah Naqsyabandiyah dipimpin oleh Syekh Muhammad Jamil
 
dan berpusat di Masjid Raya Kampung Perak, Pariaman. Syekh Muhammad Jamil
 
adalah murid dari Tuanku Muhammad, putra Syekh Jalaluddin Tuanku Sami’, ulama
 
yang menentang paham Wahdatul Wujud yang berpusat di Ulakan (Latief,x:48).
 
Berbeda dengan tokoh-tokoh Naqsyabandiyah di Minangkabau darek, Syekh
 
Muhammad Jamil menghindari konfrontasi dengan komunitas Syattariyah, sehingga
 
dari pihak Syattariyah pun tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap paham
 
yang dikembangkannya (Abu Bakar Tuanku Mudo: wawancara langsung, 23
 
Maret 2007).
      Pada waktu Orde Baru mulai berkuasa, menjelang Pemilihan Umum 1971,
 
ulama Syattariyah dengan dukungan Dewan Pimpinan Daerah Sekber Golongan
 
Karya Propinsi Sumatra Barat membentuk organisasi massa yang bernama Jamaah
 
Syattariyah. Organisasi ini dipimpin oleh Tuanku Mudo Ismael dari Koto Tuo. Akan
 
tetapi, organisasi ini bukanlah organisasi yang tumbuh dari bawah, ia lahir sebagai
 
mesin politik Orde Baru. Dengan terbentuknya ormas ini, ulama Syattariyah yang tidak
 
dilibatkan dalam pembentukannya lebih banyak bersikap diam, walaupun  ada yang
 
menentang, namun tantangan itu tidak terbuka. Sedangkan ulama Syattariyah yang
 
lainnya berpendapat bahwa mendukung Golongan Karya tidak identik dengan turut
 
serta menjadi anggota Jamaah Syattariyah (Amiruddin Tk. Bagindo, wawancara
 
langsung, 24 Maret 2007.
B.  Paham Keagamaan Ulama Syattariyah
 
      Ulama Syattariyah adalah penganut paham Ahlussunnah Waljamaah [Arab:
 
Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah] menurut ajaran teologi Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ariy.
 
Paham selain Ahlussunnah Waljamaah dianggap sesat oleh ulama Syattariyah.
 
Sehubungan ini, Imam Maulana Abdul Manaf Amin menulis sebagai berikut.
   Adapun Syaikh Burhanuddin dalam menjalankan hukum syari’at Islam adalah
 
menurut madzhab Syafi’i Rahimahullah Ta’ala dan dalam  beri’tikad adalah
 
menurut i’tikad kaum Ahli Sunnah Waljamaah, yaitu i’tikad Nabi Muhammad SAW
 
dan sahabat-sahabat beliau, terutama sekali Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ’Ali
 
Radhiyallahu ’anhum (Maulana, tt:73).

      Sebagai landasan dari paham Ahlussunnah Waljamaah, Imam Maulana
 
mengutip hadis Riwayat Thabarani:
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِه ،ِ لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى
 
الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ. قِيْلَ: مَنْ هُمْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ
 
وَالْجَمَاعَةِ.
Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad, akan berfirqah umatku nanti
 
sebanyak tujuh puluh tiga firqah, yang satu masuk surga dan yang tujuh puluh
 
dua masuk neraka. Bertanya sahabat: “Siapakah yang satu itu ya Rasulullah?”
 
Nabi menjawab: “Ialah kaum Ahlussunnah Waljama’ah.
 

      Selanjutnya Imam Maulana mengomentari terjemahan hadis itu sebagai
 
berikut:
   Sekarang kalau kita perhatikan perkembangan agama Islam dari abad
 
pertama sampai kepada zaman sekarang ini, apa yang dikatakan oleh Nabi itu
 
telah nyata kebenarannya. Kita telah banyak melihat pertikaian paham dalam
 
peraturan syari’at dan dalam pengamalan tashawwuf maupun dalam i’tikad. Kalau
 
dalam syari’at telah keluar dari madzhab yang diakui oleh dunia Islam, yaitu
 
Madzhab Imam Hanafiy, Imam Malikiy, Imam Syafi’iy, dan Imam Hanbaliy. Telah
 
ada pula madzhab yang kelima, keenam dan seterusnya. Begitu pula dalam i’tikad
 
telah keluar dari i’tikad yang diakui Nabi, yaitu i’tikad Ahlussunnah Waljamaah,
 
seperti i’tikad Ibn Taymiyah dan Ibn al-Qayyim yang beri’tikad bahwa Tuhan
 
duduk di ’arasy....
 

      Imam Maulana mengutip hadis di atas tanpa sanad. Setelah dicari dalam Al-
Mu'jam al-Kabîr Imam al-Thabarâniy, ternyata ada perbedaan dalam matan hadis. Ada
 
hadis yang diriwayatkan Al-Thabarâniy yang hampir sama matannya dengan kutipan
 
Imam Maulana. Matan hadis itu adalah sebagai berikut.
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بن مُحَمَّدٍ الْفِرْيَابِيُّ، وَعَبْدُ اللَّهِ بن سُلَيْمَانَ بن الأَشْعَثِ السِّجْزِيُّ،
 
قَالا: حَدَّثَنَا عَمْرُو بن عُثْمَانَ الْحِمْصِيُّ، ح وَحَدَّثَنَا جَبْرُ بن عَرَفَةَ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا
 
يَزِيدُ بن عَبْدِ رَبِّهِ الْجُرْجُسِيُّ، قَالا: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بن يُوسُفَ، عَنْ صَفْوَانَ بن عَمْرٍو،
 
عَنْ رَاشِدِ بن سَعْدٍ، عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
 
وَسَلَّمَ:"افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ
 
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي
 
الْجَنَّةِ، وَاثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ هِيَ؟  قَالَ:
 
"الْجَمَاعَةُ". (رواه الطبراني).
 
Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Ja'far Ibn Muhammad al-Firyâbiy dan 'Abd al-
Lâh Ibn Sulaymân Ibn al-Asy'ats al-Sijziy, keduanya berkata: Diceritakan
 
kepada kami oleh 'Amr Ibn 'Utsmân al-Himshiy, diceritakan kepada kami
 
oleh Habr Ibn 'Arafah al-Mishriy, diceritakan kepada kami oleh Yazîd Ibn
 
'Abd Rabbih al-Jurjusiy, keduanya berkata: diceritakan kepada kami oleh
 
'Abbâd Ibn Yûsuf, dari Shafwân Ibn 'Amr, dari Rasyîd Ibn Sa'd, dari Awf Ibn
 
Mâlik ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Umat Yahudi terpecah menjadi
 
71 golongan, Umat Kristiani terpecah menjadi 72 golongan. Demi Tuhan
 
yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sunggug akan terpecah umatku
 
menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga, sedangkan 72 golongan
 
lagi masuk neraka”. Ada yang bertanya: “Ya Rasulullah, siapa yang selamat
 
itu?”. Rasulullah menjawab: “al-Jamâ'ah”. (HR al-Thabarâniy)
     
 
      Jika dibandingkan antara hadis dalam al-Mu'jam al-Kabîr karya Imam al-
Thabarâniy di atas dengan hadis yang dikutip Imam Maulana, terdapat kesamaan
 
makna, yakni umat Nabi Muhammad akan terpecah menjadi 73 golongan,
 
sebagaimana umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan dan umat Kristiani menjadi
 
72 golongan. Dari 73 golongan umat Nabi Muhammad, hanya satu golongan yang
 
masuk surga, yang lainnya masuk neraka. Akan tetapi dalam menentukan kriteria
 
golongan yang selamat itu terdapat perbedaan, dalam hadis yang dikutip dari al-
Mu'jam al-Kabîr dikatakan bahwa golongan yang selamat itu adalah “al-Jama'ah”,
 
sedangkan dalam kutipan Imam Maulana golongan yang selamat itu adalah
 
Ahlussunnah Waljamaah. Matan hadis ini agaknya perlu diteliti lebih jauh oleh peneliti
 
lain, apakah “al-Jama'ah” dalam al-Mu'jam al-Kabîr itu identik dengan “Ahlussunnah
 
Waljamaah” yang dalam kutipan Imam Maulana.
 
      Tulisan Imam Maulana di atas nampaknya menegaskan paham Ahlussunnah
 
Waljamaah dalam akidah dan mazhab yang empat dalam fikih. Imam Maulana secara
 
tegas juga menyatakan bahwa paham dan mazhab yang benar terbatas pada paham
 
dan mazhab tersebut, sehingga tidak memungkinkan lahirnya mazhab lain. Selain itu,
 
mungkin karena ada kesalahan informasi sehingga paham Ibn Taymiyah dianggap
 
telah keluar dari Ahlussunnah Waljamaah. Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan
 
lagi dalam masalah ini, apakah Ibn Taymiyah dan Ibn al-Qayyim memang benar-benar
 
pernah menyatakan “Tuhan duduk di  ’arasy” atau hal itu hanya tuduhan yang
 
mengada-ada. 
 
      Untuk kalangan awam, paham Ahlussunnah Waljamaah diberikan dalam
 
bentuk wirid hafalan yang disebut pengajian Sifat Dua Puluh. Pengajian Sifat Dua
 
Puluh yang menguraikan tentang sifat-sifat Allah, 20 yang wajib, 20 yang mustahil,
 
dan satu yang jaiz, serta sifat-sifat Rasul, empat yang wajib, empat yang msutahil, dan
 
satu yang jaiz, jumlahnya lima puluh. Lalu terkenallah sebuttan “Aqidah Iman yang
 
Lima Puluh”. Pengajian Sifat Dua Puluh menunjukkan bahwa pengikut paham
 
Syattariyah adalah penganut paham Ahlussunnah Waljamaah dalam akidah.
      Dalam bidang fikih, ulama Syattariyah mengikuti madzhab Syafi’i. Di surau-
surau [pesantren] salafiyah yang diasuh oleh ulama Syattariyah, kitab fiqih yang dikaji
 
sejak dari jenjang yang paling rendah hingga jenjang yang paling tinggi seluruhnya
 
adalah fiqih Syafi’iyah. Kitab-kitab yang diajarkan dan dipelajari adalah Matan Safinat
 
al-Najâ, Matan al-Taqrîb, Fath al-Qarîb, Fath al-Mu’în, Minhâj al-Thâlibîn, Kifâyat al-
Akhyar, I’ânat al-Thâlibîn, Qalyûbiy, al-Mahalliy, dan lain-lain. Kitab-kitab seperti Subul
 
al-Salâm, Nayl al-Awthâr, atau Bidâyat al-Mujtahid merupakan sesuatu yang sangat
 
tabu untuk dibaca, apalagi untuk dipelajari dan diajarkan (Amiruddin Tuanku
 
Bagindo, wawancara tantang UN 2011).
 
      Tuanku Kuning Zubir juga menegaskan komitmen ulama Syattariyah terhadap
 
madzhab Syafi’i  sebagai berikut.
   Imam kita Syafi’i bernama Muhammad, anak oleh Idris, anak Usman, anak
 
Syafi’, anak Saib, anak Abdu Yazid, anak Hasyim, anak Muthalib, anak Abdu
 
Manaf. Dan Syafi’i adalah nisbah bagi Syafi’i yang disebutkan di atas. Dan Syafi’
 
ini masuk Islam, ia dan bapaknya, di waktu peperangan Badar, dia pembawa
 
bendera Quraisy di waktu ia musyrik. Telah rida Allah darinya. Imam Syafi’i adalah
 
Imam dari segala imam kerena ilmunya, dan amal dan zuhud dan makrifat dan
 
kecerdasan dan hafaz dan tinggi bangsanya, maka beliau terdepan dari segala
 
yang disebutkan itu. Dan beliau melebihi padanya akan kebanyakan orang yang
 
telah mendahului beliau, apalagi para guru beliau, seperti Imam Malik dan Sofyan
 
bin ’Uyainah dan para guru mereka dan berkumpul pada diri beliau demikian dari
 
macam-macam sifat mulia. Dan banyak pengikut pada kebanyakan pelosok di
 
bumi ini. Apalagi di dua tanah haram, yaitu Mekkah dan Medinah dan bumi Baitul
 
Muqaddas (Zubir,tt: 63-64). Demikianlah pandangan ulama Syattariyyah
 
terhadap madzhab Imam Syafi’i yang melebihi madzhab lain. Untuk kalangan
 
awam, pengetahuan tentang fikih ibadah disajikan dalam bentuk wirid yang
 
disebut Rukun Syarat. Pengajian ini membahas hukum-hukum syara’, yang terdiri
 
dari rukun, syarat, syarat sah, dan syarat wajib, serta yang membatalkan suatu
 
ibadah menurut mazhab Syafi’i. Observasi pada beberapa surau dan masjid di
 
Kabupaten Padang Pariaman, di antaranya: (1) Surau Tabek Tanjung
 
Mutuih, Nagari Koto Dalam Kecamatan Padang Sago, (2) Surau
 
Kampung Jambak Nagari Sunur Kecamatan Nan Sabaris, (3) Surau Seng
 
Bukik Gonggang Nagari Campago Kecamatan V Koto Kampung Dalam,
 
(4) Masjid Darul Hikmah Sago Durian Talang Nagari Gunuang Padang
 
Alai Kecamatan V Koto Timur, dan lain-lain). Dalam bertashawuf, ulama
 
Syattariyah mengikuti ajaran guru-guru yang mempunyai silsilah sampai kepada
 
Syekh Burhanuddin. Untuk masyarakat awam pengajian tashawuf diberikan dalam
 
bentuk wirid hafalan yang disebut A’yân Khârijiyah-A’yân Tsâbitah. Pengajian
 
A’yân Khârijiyah-A’yân Tsâbitah merupakan pengajian tashawuf yang membahas
 
hubungan antara manusia dengan Tuhan.
 
      Manusia dalam pengajian ini terdiri dari empat unsur, yaitu A’yân Khârijiyah,
 
A’yân Tsâbitah, Wujûd ’?m, dan Wujûd Muhadh. A’yân Khârijiyah (tubuh kasar,
 
jasmani) sebagai unsur pertama terdiri dari bulu, kulit, darah, daging, urat, tulang,
 
otak, benak, hati, jantung, paru-paru, dan buah punggung. Unsur kedua disebut A’yân
 
Tsâbitah (tubuh yang halus, rohani) yang terdiri dari tujuh sifat yang berfungsi untuk
 
mendengar, melihat, berbicara, hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak. Unsur
 
yang kedua ini merupakan tajalli dari tujuh sifat Tuhan sebagai unsur ketiga yang
 
disebut Wujûd ’?m (Sama’ = Mendengar, Bashar = Melihat, Kalam = Berbicara, Hayat
 
= Hidup, Ilmu = Mengetahui, Kudrat = Berkuasa, dan Iradat = Berkehendak). Wujûd
 
’?m merupakan sifat dari Wujûd Muhadh sebagai unsur keempat, itulah wujud Tuhan
 
yang bernama Allah Deram.
 
      Dalam memahami hubungan antara Tuhan dan manusia, ulama Syattariyah
 
mengibaratkan seperti buih, ombak, laut, dan air. Buih pada hakikatnya adalah tajalli
 
dari ombak, ombak adalah tajalli dari laut, laut tajalli dari air. Begitulah keterkaitan
 
antara Tuhan dan manusia, A’yân Khârijiyah merupakan buih, A’yân Tsâbitah adalah
 
ombak, Wujûd ’?m sebagai laut, dan Wujûd Muhadh diibaratkan sebagai  air yang
 
menjadi hakikat dari semua yang nampak: buih, ombak, dan laut. Buih, ombak, dan
 
laut “tidak lain, melainkan air semata-mata”.
 
      Sehubungan dengan keterkaitan antara Tuhan dan manusia, Khatib Deram
 
menulis sebagai berikut:
   Adapun tarikat itu mangko handaklah kito tanazulkan, yaitu tatkalo berdompak
 
sifat Jamal dan sifat Jalal sarato meng-khitab io Allah akan kalimah KUN mangko
 
mambari bakas kudrat jo iradat, mangko tarabitlah Nur daripado Allah, mangko
 
nur itu menjadi Muhammad, daripado Muhammad tarabit pulo nur, mangko nur itu
 
manjadi api, cahayo api menjadi sumangek, daripado api tarabit angin, daripado
 
angin tarabit air, daripado air tarabit tanah. Adapun nan ampek itu, yaitu
 
dinamokan a’yan kharijiyah, insan basyari pun namonyo, makna insan basyari itu
 
iyolah nan diliek dengan mato kapalo kito. Tatapi insan basyari itu tiado
 
bakudarat, tiado mandanga, tiado maliek, tiado barkato, tidak bapangana pado
 
insan basyari itu. Hanyo nan bakudarat, nan mandanga, nan maliek, nan barkato.
 
Nan bapangana pado insan basyari itu iyolah a’yan tsabitah, insan hakiki pun
 
namonyo. Makna insan hakiki itu iyolah nan sabana-bananyo diri kito, itu nan
 
bakudarat pado urek kito, itu nan mandanga pado talingo kito, itu nan maliek pado
 
mato kito, itu nan barkato pado lidah kito, itu nan bapangana pado hati kito. Tatapi
 
insan hakiki itu pun tiado bakudarat, pun tiado mandanga, pun tiado maliek, pun
 
tiado barkato, pun tiado bapangana. Hanyo nan bakudarat, nan mandanga, nan
 
maliek, nan barkato, nan bapangana pado insan hakiki itu iyolah mambari bakas
 
si wujud ’am, makna si wujud ’am itu iyolah sifat Allah yang anam, mano-mano
 
nan anam, partamu alimu, makna alimu mangatahui Allah Taala akan a’yan
 
tsabitah, ...dst.
 

   (Adapun tarekat, hendaklah ditanazulkan, yaitu tatkala bertemu sifat Jamal
 
dan Jalal, dan Allah mengatakan KUN, maka sifat kudrat dan iradat memberi
 
bekas, terbitlah nur Allah, nur itu menjadi muhammad, dari muhammad muncul
 
pula nur yang kemudian menjadi api, dari api lahir angin, dari angin lahir air, dari
 
air lahir tanah. Unsur yang empat itu disebut a’yan kharijiyah atau insan basyari,
 
yang nampak oleh mata kepala. Insan basyari itu tidak berkudrat, tidak
 
mendengar, tidak melihat, tidak berkata, tidak punya ingatan. Yang berkudrat,
 
yang mendengar, yang melihat, yang berkata, dan yang mengingat pada insan
 
basyari itu ialah a’yan tsabitah atau insan hakiki, diri kita yang sebenarnya. Itulah
 
yang punya kudrat di urat kita, yang mendengar pada telinga kita, yang melihat
 
pada mata kita, yang berkata-kata pada lidah kita, yang mengingat di hati kita.
 
Tetapi insan hakiki itu pun tidak berkudrat, tidak mendengar, tidak melihat, tidak
 
berkata, tidak punya ingatan. Yang berkudrat, yang mendengar, yang melihat,
 
yang berkata, dan yang mengingat pada insan hakiki itu hanyalah Wujud ’Am,
 
sifat Allah yang enam, pertama ilmu, artinya Allah mengetahui a’yan tsabitah, ....
 
dst)    
 
     
 
      Dalam bidang amaliyah, ulama Syattariyah memiliki ciri khas yang
 
membedakannya dengan kelompok lain. Seseorang tidak dapat disebut sebagai
 
ulama maupun pengikut paham Syattariyah jika tidak meyakini dan mengamalkan
 
amaliyah tersebut. Menurut Duski Samad ada beberapa amaliyah keagamaan yang
 
menjadi ciri khas pengikut paham Syattariyah, yaitu: (1) Shalat Burha, (2) Shalat 40
 
hari, (3) Shalat Qadha, (4) Shalat sunat Lailatul Qadar, (5) Keharusan shalat hari raya
 
di masjid, (6) Puasa dengan melihat bulan dengan perhitungan hisab Taqwim, (7)
 
Maulid Nabi dengan membaca Syarafal Anam, (8) Haul kematian pada hari ke-1, 2, 3,
 
7, 14, 40, dan 100, (9) Hadiah pahala tahlil untuk orang tua dan guru, (10) Tahlil
 
70.000 kalimah untuk menebus si mayat dari siksa neraka, (11) Men-jahar-kan
 
basmalah ketika membaca fatihah dalam shalat, (12) Bernazar atau berkhaul bila ada
 
kesulitan dalam hidup, (13) Ratik tolak bala, (14) Bai’at dengan guru, (15) Mengaji
 
rukun syarat dan sifat 20 setelah bai’at kepada guru, (16)xMengaji tarekat setelah
 
bai’at, (17) Mengaji martabat tujuh, dan (18)xBasafa pada hari Rabu setelah tanggal
 
10 setiap bulan Safar.
 
      Menurut Tuanku Kuning Zubir sebagai ulama terkemuka di kalangan
 
Syattariyah, ada 20 macam amaliyah yang selalu dipegang teguh ulama Syattariyah.
 
Kedua puluh masalah tersebut ditulis oleh Tuanku Kuning Zubir dalam buku Syifâ al-
Qulûb fî Izâlat al-Rayb wa al-Taqallub yang terdiri dari 99 halaman. Buku ini
 
merupakan kutipan dari beberapa kitab yang dijadikan referensi. Kutipan itu memakai
 
bahasa Arab bertulisan tangan, sedangkan terjemahannya diketik dalam bahasa
 
Indonesia dan menggunakan huruf Latin. Bila diteliti lebih jauh, buku tersebut
 
hanyalah kutipan kitab-kitab berbahasa Arab yang kemudian diberi terjemahan oleh
 
penulisnya tanpa mengemukakan komentar sedikitpun. Dalam mukaddimah buku
 
tersebut, setelah tahmid dan shalawat, Tuanku Kuniang Zubir menulis sebagai berikut:
أَمَّا بَعْدُ ، فَهَذِهِ الرِّسَالَةُ الصَّغِيْرَةُ فِيْ تَبْيِيْنِ مَا أَثْبَتَ مَشَائِخُنَا الشَّطَّارِيَّةُ مِنَ الأَعْمَالِ
 
وَالأَورَادِ وَالأَفْهَامِ ، مُسْتَنْبَطًا مِنَ الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَالْكُتُبُ الْمُعْتَمَدُ عَلَيْهَا....
Artinya: Amma ba’d, Risalah kecil ini menjelaskan amalan-amalan, wirid-wirid, dan
 
faham yang telah ditetapkan oleh para guru Syattariyah kami, yang diambil
 
dari Kitab, Sunnah, dan kitab-kitab yang mu’tamad....
 

      Tuanku Kuniang Zubir mengemukakan 20 macam amaliyah yang selalu
 
dipegang teguh ulama Syattariyah itu secara berurutan, yaitu: (1)xMenetapkan awal
 
Ramadhan dan Syawal dengan rukyat hilal, (2)xMenetapkan rukyat hilal dengan Hisab
 
Taqwim Khamsiyah, (3) Shalat tarawih 20 raka’at dengan 10 salam, (4) Shalat witir
 
tiga raka’at dengan dua salam, (5) Melafazkan niat sedikit sebelum takbir, (6)
 
Membaca do’a iftitah, (7)xMembaca basmalah dalam Fatihah dan ayat ketika shalat,
 
(8) Tasbih pada ruku’ dan sujud tiga kali, (9) Qunut pada raka’at kedua shalat shubuh
 
sesudah ruku’, (10) Tasbih dan dzikir sesudah shalat fardhu, (11) Khutbah Jum’at dan
 
dua hariraya dengan bahasa Arab, (12) Dzikir, do’a, dan bacaan Qur’an bermanfaat
 
bagi orang mukmin yang telah mati, (13) Talqin, (14) Berharum-haruman sebelum
 
pembacaan do’a arwah, doa qurban dan aqiqah dengan membakar kemenyan, (15)
 
Ziarah kubur Nabi SAW dan ulama, (16)xTawassul,x(17)xMenutup kepala bagi laki-
laki waktu shalat, (18)xMembesarkan maulud Nabi SAW dengan syair Syarafal Anam,
 
(19)zMadzhab Syafi’i, (20) Bai’ah. Amaliyah ulama Syattariyah ini dapat dilihat secara
 
berurutan dalam daftar isi buku Syifâ’ al-Qulûb karangan Tuanku Kuning Zubir.
      Dari hasil kajian terhadap amaliyah ulama Syattariyah di atas, dalam
 
kaitannya dengan penetapan awal Ramadhan dan Syawal, yang ada relevansinya
 
dengan penelitian ini adalah penetapan tanggal 01 Ramadhan dan 01 Syawal dengan
 
melihat bulan sesuai dengan perhitungan taqwim. Taqwim inilah yang membedakan
 
antara tradisi melihat bulan dengan rukyat hilal yang dilakukan kelompok lain. Setiap
 
tahun, setidak-tidaknya terdapat perbedaan sehari atau dua hari dalam penetapan
 
tanggal 01 Ramadhan dan 01 Syawal. Perbedaan itu juga terjadi di kalangan internal
 
ulama Syattariyah, adakalanya murni berasal dari dalam dan ada pula disebabkan
 
oleh adanya interaksi dengan pihak luar. Tetapi agaknya kedua faktor itu telah
 
berakumulasi menjadi satu, sehingga timbul perbedaan dalam pemahaman
 
keagamaan.
             .Ibid. [Hadis dan terjemahannya dikutip secara utuh].
      
 
             .Ibid., h. 75
             .Al-Thabarâniy, Al-Mu'jam al-Kabîr, Bab IV, Jilid 12, h. 441, hadis nomor 14555
 
[http://www.ahlalhdeeth.com]
 
             .Khatib Deram, Tharîqat Qâla al-Nabiy, Tandikat VII Koto, [tulisan tangan aksara Arab-
Melayu, tidak diterbitkan], h. 8-12
      
 
             .Amiruddin Tuanku Bagindo, ulama Syattariyah dan mantan Qadhi Nagari Ulakan, di
 
Pondok Pesantren Syekh Burhanuddin Al-Muhajirin Kampung Kandang Kecamatan Pariaman
 
Selatan Kota Pariaman, wawancara langsung, 23 Maret 2007
 
             .Khatib Deram, op.cit., h. 44-46
 
             .Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau (Syarak Mandaki Adat
 
Manurun), (Jakarta: The Minangkabau Fondation, 2002), Cet. ke-1, h. 156-159
 
              Tuanku Kuning Zubir, op.cit., h. 2 [Teks dikutip dari buku Syifâ’ al-Qulûb, terjemahan
 
dari penulis. Dalam susunan teks, frase الرسالة الصغيرة sebaiknya رسالة صغيرة dalam bentuk nakirah,
 
bukan ma’rifah yang memakai alif-lâm seperti yang tertulis, sehingga terjemahannya berbunyi:
 
“Inilah risalah kecil dalam menjelaskan amalan-amalan, wirid-wirid ....” dan seterusnya]. Yang
 
perlu dikoreksi lagi adalah wa al-kutubu al-mu’tamadu ’alayhâ dalam susunan kalimat [مُسْتَنْبَطًا مِنَ
 
الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَالْكُتُبُ الْمُعْتَمَدُ عَلَيْهَا] seharusnya wa al-kutubi al-mu’tamadi, karena di’athafkan kepada
kata sebelumnya yang majrûr.